Pentingnya membina etika bisnis untuk menghasilkan bisnis yang
bagus
Etika bisnis merupakan suatu studi mengenai prinsip-prinsip
atau standar-standar moral dan bagaimana standar-standar ini berlaku bagi sistem
dan organisasi yang digunakan oleh masyarakat untuk menghasilkan dan
mendistribusikan barang dan jasa, dan bagi orang-orang yang bekerja di dalam
organisasi tersebut.
Dua hal yang perlu dicatat dari pengertian di
atas.
Pertama, etika bisnis bukanlah suatu jenis lain etika; ia adalah
etika dalam konteks bisnis; memfokuskan pada apa yang merupakan perilaku yang
benar atau salah di ranah bisnis dan bagaimana prinsip-prinsip moral diterapkan
oleh para pelaku bisnis pada situasi-situasi yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari mereka di lingkungan pekerjaan.
Kedua, para pelaku bisnis
tidak perlu mengadopsi seperangkat prinsip etika untuk memandu mereka dalam
mengambil keputusan-keputusan bisnis dan seperangkat prinsip lain untuk memandu
kehidupan pribadi mereka.
Dimensi Moral dalam Pengambilan Keputusan
Bisnis
Terlepas dari rumitnya hubungan etika bisnis dengan ekonomi dan
hukum, bisnis adalah organisasi ekonomi yang tidak hanya menjalankan kegiatannya
berdasarkan aturan-aturan hukum yang berlaku, tetapi juga norma-norma etika yang
berlaku di masyarakat.
Bahkan dapat dikatakan, bahwa seiring dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya bisnis yang bertanggung jawab
sosial, etika merupakan dimensi sangat penting yang harus selalu dipertimbangkan
dalam pengambilan keputusan bisnis.
Cakupan Etika Bisnis
Isu-isu
yang dicakup oleh etika bisnis meliputi topik-topik yang luas. Isu-isu ini dapat
dikelompokkan ke dalam 3 dimensi atau jenjang, yaitu: (1) sistemik, (2)
organisasi, dan (3) individu.
Isu-isu sistemik dalam etika bisnis
berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan etika yang timbul mengenai lingkungan dan
sistem yang menjadi tempat beroperasinya suatu bisnis atau perusahaan: ekonomi,
politik, hukum, dan sistem-sistem sosial lainnya.
Isu-isu organisasi
dalam etika bisnis berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan etika tentang
perusahaan tertentu.
Sementara itu, isu-isu individu dalam etika bisnis
menyangkut pertanyaan-pertanyaan etika yang timbul dalam kaitannya dengan
individu tertentu di dalam suatu perusahaan.
Manajemen beretika, yakni
bertindak secara etis sebagai seorang manajer dengan melakukan tindakan yang
benar (doing right thing). Manajemen etika adalah bertindak secara efektif dalam
situasi yang memiliki aspek-aspek etis. Situasi seperti ini terjadi di dalam dan
di luar organisasi bisnis. Agar dapat menjalankan baik manajemen beretika maupun
manajemen etika, para manajer perlu memiliki beberapa pengetahuan
khusus.
Banyak eksekutif bisnis menganggap kultur korporat yang mereka
pimpin, adalah sesuatu yang mereka inginkan. Mereka membuat lokakarya untuk
mendefinisikan nilai-nilai dan proses-proses, menuliskan misi dan tujuan
perusahaan pada poster, menyediakan sesi-sesi orientasi untuk pegawai baru, guna
menjelaskan tujuan perusahaan dan lain-lain. Bahkan, ada yang mencetak statement
nilai-nilai perusahaan di balik kartu identitas sebagai pengingat bagi para
pegawai.
Semua itu memang penting dilakukan. Namun, ada hal yang
lebih penting yang kerap dilupakan pemimpin bisnis. Kultur perusahaan sebenarnya
didefinisikan oleh perilaku para eksekutif. Pegawai meniru perilaku bos karena
boslah yang menilai, menggaji, dan mempromosikan mereka. Maka, para pemimpin
tertinggi pada akhirnya bertanggung jawab atas kultur organisasinya, termasuk
kultur etikanya.
Memang benar, pegawai secara individual
bertanggung jawab atas perbuatannya. Mereka digerakkan seperangkat nilai-nilai
atau prinsip-prinsip internal sendiri. Namun, ketika urusan perut, kedudukan,
dan kekuasaan yang menjadi taruhan, orang akan melakukan apa saja agar berhasil.
Terlalu sedikit orang yang punya nyali mengambil risiko bagi diri dan keluarga
demi prinsip, terutama jika konsekuensinya tampak kecil, samar, dan tak
terdeteksi.
Di sinilah strategisnya peran pemimpin. Agar pegawai
bertindak sesuai prinsip, suatu organisasi bisnis harus dipimpin eksekutif yang
bersungguh-sungguh membuat keputusan, tidak hanya menurut batasan-batasan bisnis
dan legal, tetapi juga batasan-batasan etis. Secara sepintas, untuk menegakkan
etika yang bagus sepertinya menghabiskan uang. Padahal, kepemimpinan yang etis
justru bisa menghemat uang. Cobalah renungkan peran kualitas dalam bisnis.
Sebagian besar industri Amerika sebelum 1970-an, menganggap produk dan jasa yang
berkualitas terlalu mahal untuk diproduksi. Lalu, ada satu pelajaran besar yang
diajarkan kepada industri Amerika oleh industri Jepang. Ironisnya, industri
Jepang belajar dari ahli statistik Amerika, William Edwards
Deming.
Pada 1947, Deming dikirim ke Tokyo untuk menjadi
penasihat Markas Pasukan Sekutu, mengenai penerapan teknik sampling yang
dikembangkannya. Di sana, dia berkesempatan bertemu dengan manajer Jepang, yang
punya hubungan baik dengan Keindanren, serikat buruh besar di negara itu. Para
manajer terpikat pada teori-teori manajemen Deming, yang mereka dengar sebelum
perang. Mereka pun mengundangnya untuk memberi kuliah dan berbicara dalam
seminar-seminar. Singkat cerita, industri Jepang mengadopsi teori-teori
manajemen Deming dan sepuluh tahun kemudian, produk-produk Jepang mulai mengalir
ke AS.
Konsumen AS tak salah, sebab barang-barang Jepang memang
lebih bagus dan lebih murah. Itulah titik balik sejarah dunia. Kini, perusahaan
otomotif, elektronik, dan semikonduktor Jepang, benar-benar menikmati hasil
pelajaran itu. Industri Jepang bisa mendominasi pasar dunia dalam hal kepuasan
pelanggan, dengan biaya manufaktur yang paling rendah. Pelajaran besar yang
diajarkan industri Jepang adalah tentang imbalan dari biaya (baca, komitmen)
kepada kualitas dan pelayanan kepada konsumen.
Paradigma peran
kualitas itu juga berlaku pada etika. Pelaksanaan etika yang buruk, bisa
mengarah kepada kerugian finansial. Ilustrasinya, ketika suatu perusahaan
mematok keuntungan terlalu tinggi dan mengeksploitasi konsumen, maka prinsip
pertama makro ekonomi akan berlaku. Ketika rate of return berlebihan, maka
kompetitor masuk untuk mengoreksinya. Kompetitor menekan harga turun,
menghasilkan profit subnormal, bahkan kerugian dan pada akhirnya perusahaan yang
paling tidak efisien akan tersingkir dari pasar.
Bukan suatu
kebetulan bila secara empiris, etika berkorelasi dengan rate of return.
Perhatikanlah, nilai investasi di perusahaan-perusahaan AS yang menjunjung
tinggi komitmen tanggung jawab sosial, naik secara tajam pada tahun 1995-1997.
Aset-aset di perusahaan seperti itu –tidak termasuk perusahaan tembakau,
senjata, atau perusahaan yang dikritik karena praktik perburuhan mereka— naik
227 persen dalam dua tahun (dari 162 miliar dolar AS menjadi 529 miliar dolar
AS). Ini sangat mengesankan, mengingat pada periode yang sama, pasar secara
keseluruhan tumbuh hanya 84 persen dan S&P hanya 60
persen.
Tidak berlebihan bila dikatakan, kelangsungan suatu
organisasi bisnis akan ditentukan seberapa kuat penegakan etika di dalamnya.
Kultur etika organisasi bergantung kepada pemimpinnya.
Selama
ini, banyak orang salah memahami arti kepemimpinan. Umumnya, orang melihat
pemimpin adalah kedudukan atau posisi semata, sehingga banyak orang mengejarnya
dengan menghalalkan segala cara. Ada yang membeli kedudukan dengan uang,
menjilat atasan, menyikut pesaing atau teman, dan sebagainya. Pemimpin hasil
dari cara seperti itu, akan selalu menggunakan kekuasaannya dalam mengarahkan,
memperalat, bahkan menguasai orang lain, agar orang lain mengikutinya. Pemimpin
jenis ini, umumnya suka menekan, dan sebagai akibatnya, dia bukan pemimpin yang
dicintai. Anda bisa mencintai orang lain tanpa memimpin mereka, tetapi Anda
tidak bisa memimpin orang lain dengan efektif tanpa mencintai
mereka.
Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat
penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan
memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai
(value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya
dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang
transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan
yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Contoh kasus
Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan
Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun
lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika
perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya
kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut,
kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu
perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu
emas.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan
akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka
panjang karena :
* Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya
kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan
eksternal.
* Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
* Akan melindungi
prinsip kebebasan ber-niaga
* Akan meningkatkan keunggulan
bersaing.
Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan
memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra
produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan
beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai
perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada
umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula,
terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis misalnya
diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang
berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu
semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan
penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang
terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni
dengan cara :
* Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of
conduct)
* Memperkuat sistem pengawasan
* Menyelenggarakan pelatihan
(training) untuk karyawan secara terus menerus.
Ketentuan tersebut
seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham,
sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara lain PT.
TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan
perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang
diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan
Worldcom.
Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan
beretika saat ini sudah sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin
pesatnya perkembangan globalisasi di muka bumi ini. Dengan adanya moral dan
etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita
yakin dapat menjadikan perusahaan menjadi kokoh. Kita harus mensinergikan antara
etika dengan bisnis dengan menggunakan perilaku etika untuk mencapai sukses
jangka panjang dalam sebuah bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar